. Rima Gusti Prihatina: Seorang perempuan yang jatuh cinta pada hujan.

Pages

Seorang perempuan yang jatuh cinta pada hujan.

Sejak pertama membaca judul itu, saya langsung jatuh cinta. Jika kemudian cerita pendek (cerpen) itu memenangkan salah satu hadiah, bukan semata judul itu penyebabnya. Memang ada gagasan yang sedikit menyimpang dari sekadar menceritakan tentang hujan. Ketika hujan lama tak turun, Bumi pun kemarau. Namun sebaliknya, sewaktu hujan deras mengguyur tak henti-henti mungkin akan menyebabkan sebuah kota tenggelam. Hujan dalam cerpen karya Retnadi Nur’aini adalah tokoh yang hidup. Tokoh yang bisa jatuh cinta dan kesengsem pada perawan berambut panjang.
Saya kira Retnadi tidak ingin mengabaikan tema lingkungan. Justru ia pandai melepaskan diri dari beban tema dan menukarnya dengan kisah magis, melalui percintaan antara seorang perempuan dengan hujan.
Di halaman saya bentangkan tangan selebar-lebarnya, agar Hujan memeluk saya sepuasnya. Setiap tetesnya bercerita tentang kerinduannya. Pada nyanyian saya, pada rambut saya, pada wajah saya yang tersipu. Di tengah derasnya Hujan, saya mulai bernyanyi. Semula hanya senandung lirih, makin lama makin kencang. Ketika Hujan mulai reda, saya tahu dia sedang mendengarkan. ”Terima kasih,” bisiknya, mengecup bibir saya dengan lembut.
Akhir yang tragis, ketika sang perempuan harus ditiadakan, membuat cerita ini mencekam. Persoalannya tinggal teknis: bagaimana menutup kisah dengan keindahan yang sama ketika memulai atau saat mengurai bagian tengah?

Sejak pertama membaca judul itu, saya langsung jatuh cinta. Jika kemudian cerita pendek (cerpen) itu memenangkan salah satu hadiah, bukan semata judul itu penyebabnya. Memang ada gagasan yang sedikit menyimpang dari sekadar menceritakan tentang hujan. Ketika hujan lama tak turun, Bumi pun kemarau. Namun sebaliknya, sewaktu hujan deras mengguyur tak henti-henti mungkin akan menyebabkan sebuah kota tenggelam. Hujan dalam cerpen karya Retnadi Nur’aini adalah tokoh yang hidup. Tokoh yang bisa jatuh cinta dan kesengsem pada perawan berambut panjang.
Saya kira Retnadi tidak ingin mengabaikan tema lingkungan. Justru ia pandai melepaskan diri dari beban tema dan menukarnya dengan kisah magis, melalui percintaan antara seorang perempuan dengan hujan.
Di halaman saya bentangkan tangan selebar-lebarnya, agar Hujan memeluk saya sepuasnya. Setiap tetesnya bercerita tentang kerinduannya. Pada nyanyian saya, pada rambut saya, pada wajah saya yang tersipu. Di tengah derasnya Hujan, saya mulai bernyanyi. Semula hanya senandung lirih, makin lama makin kencang. Ketika Hujan mulai reda, saya tahu dia sedang mendengarkan. ”Terima kasih,” bisiknya, mengecup bibir saya dengan lembut.
Akhir yang tragis, ketika sang perempuan harus ditiadakan, membuat cerita ini mencekam. Persoalannya tinggal teknis: bagaimana menutup kisah dengan keindahan yang sama ketika memulai atau saat mengurai bagian tengah?

Seperti sebuah isyarat, tanda-tanda keberhasilan sebuah cerita (pendek) “tercium” melalui judul atau awal kalimat yang ditulis. Pertama kali kutahu bahwa aku punya nama justru dari makhluk asing bermata biru lazuardi, dari negeri entah di mana. Begitulah cerpen Capra dimulai.
Tak kalah unik, cerita yang merambat perlahan dengan detail dan bahasa puitis ini memiliki tokoh sekuntum anggrek. TitikKartitiani, penulisnya, adalah redaktur majalah Flona, sudah barang tentu memiliki pengetahuan luas mengenai tetumbuhan (dan hewan). Pilihannya cukup tepat, segera menyingkirkan sejumlah peserta lomba yang lain. Boleh jadi ini subyektif, tetapi dengan pemihakan terhadap estetika bahasa dalam menyampaikan gagasan, mudah-mudahan pilihan itu tidak keliru.
Seperti dua pengarang lain yang memenagi hadiah utama,Capra juga pintar mengusung tema tanpa slogan. Mari kita simak peristiwa yang pada umumnya dipresentasikan dengan kalimat bombastis dan mengerikan: Mereka membawa benda dengan gigi-gigi kuat, lebih kuat dari ikan todak. Hanya dengan anggukan, benda itu mengaum keras, seiring dengan tubuhku yang tiba-tiba bergetar hebat. Sakit sekali rasanya. Namun sakit itu tak sempat kurasakan lebih lama ketika tiba-tiba pepohonan di sekitarku berputar dengan cepat. Brakk! Tubuhku terjerembab di tanah. Rintih jati mengelilingiku menandai sebuah candra sengkala, tahun rusaknya Bumi yang menghidupi.
Terpukau adalah hak semua orang yang sensitif terhadap keindahan metafora yang tidak tergelincir pada kegenitan. Kemampuannya membuat deskripsi dan pameran diksi yang bagai mengupas kulit bawang, berlapis-lapis, telah sedikit melupakan pada caranya berlambat-lambat. Walau tak sempurna, cerita ini cukup berhasil memberikan pencerahan, memandang kekejian manusia yang hanya memikirkan diri sendiri dari sudut kelembutan nurani bunga. Sebuah ekstrem atau sebuah kontras yang sengaja diangkat oleh Titik untuk membungkus tema lingkungan.

Seperti sebuah isyarat, tanda-tanda keberhasilan sebuah cerita (pendek) “tercium” melalui judul atau awal kalimat yang ditulis. Pertama kali kutahu bahwa aku punya nama justru dari makhluk asing bermata biru lazuardi, dari negeri entah di mana. Begitulah cerpen Capra dimulai.
Tak kalah unik, cerita yang merambat perlahan dengan detail dan bahasa puitis ini memiliki tokoh sekuntum anggrek. TitikKartitiani, penulisnya, adalah redaktur majalah Flona, sudah barang tentu memiliki pengetahuan luas mengenai tetumbuhan (dan hewan). Pilihannya cukup tepat, segera menyingkirkan sejumlah peserta lomba yang lain. Boleh jadi ini subyektif, tetapi dengan pemihakan terhadap estetika bahasa dalam menyampaikan gagasan, mudah-mudahan pilihan itu tidak keliru.
Seperti dua pengarang lain yang memenagi hadiah utama,Capra juga pintar mengusung tema tanpa slogan. Mari kita simak peristiwa yang pada umumnya dipresentasikan dengan kalimat bombastis dan mengerikan: Mereka membawa benda dengan gigi-gigi kuat, lebih kuat dari ikan todak. Hanya dengan anggukan, benda itu mengaum keras, seiring dengan tubuhku yang tiba-tiba bergetar hebat. Sakit sekali rasanya. Namun sakit itu tak sempat kurasakan lebih lama ketika tiba-tiba pepohonan di sekitarku berputar dengan cepat. Brakk! Tubuhku terjerembab di tanah. Rintih jati mengelilingiku menandai sebuah candra sengkala, tahun rusaknya Bumi yang menghidupi.
Terpukau adalah hak semua orang yang sensitif terhadap keindahan metafora yang tidak tergelincir pada kegenitan. Kemampuannya membuat deskripsi dan pameran diksi yang bagai mengupas kulit bawang, berlapis-lapis, telah sedikit melupakan pada caranya berlambat-lambat. Walau tak sempurna, cerita ini cukup berhasil memberikan pencerahan, memandang kekejian manusia yang hanya memikirkan diri sendiri dari sudut kelembutan nurani bunga. Sebuah ekstrem atau sebuah kontras yang sengaja diangkat oleh Titik untuk membungkus tema lingkungan.

Seperti sebuah isyarat, tanda-tanda keberhasilan sebuah cerita (pendek) “tercium” melalui judul atau awal kalimat yang ditulis. Pertama kali kutahu bahwa aku punya nama justru dari makhluk asing bermata biru lazuardi, dari negeri entah di mana. Begitulah cerpen Capra dimulai.
Tak kalah unik, cerita yang merambat perlahan dengan detail dan bahasa puitis ini memiliki tokoh sekuntum anggrek. TitikKartitiani, penulisnya, adalah redaktur majalah Flona, sudah barang tentu memiliki pengetahuan luas mengenai tetumbuhan (dan hewan). Pilihannya cukup tepat, segera menyingkirkan sejumlah peserta lomba yang lain. Boleh jadi ini subyektif, tetapi dengan pemihakan terhadap estetika bahasa dalam menyampaikan gagasan, mudah-mudahan pilihan itu tidak keliru.
Seperti dua pengarang lain yang memenagi hadiah utama,Capra juga pintar mengusung tema tanpa slogan. Mari kita simak peristiwa yang pada umumnya dipresentasikan dengan kalimat bombastis dan mengerikan: Mereka membawa benda dengan gigi-gigi kuat, lebih kuat dari ikan todak. Hanya dengan anggukan, benda itu mengaum keras, seiring dengan tubuhku yang tiba-tiba bergetar hebat. Sakit sekali rasanya. Namun sakit itu tak sempat kurasakan lebih lama ketika tiba-tiba pepohonan di sekitarku berputar dengan cepat. Brakk! Tubuhku terjerembab di tanah. Rintih jati mengelilingiku menandai sebuah candra sengkala, tahun rusaknya Bumi yang menghidupi.
Terpukau adalah hak semua orang yang sensitif terhadap keindahan metafora yang tidak tergelincir pada kegenitan. Kemampuannya membuat deskripsi dan pameran diksi yang bagai mengupas kulit bawang, berlapis-lapis, telah sedikit melupakan pada caranya berlambat-lambat. Walau tak sempurna, cerita ini cukup berhasil memberikan pencerahan, memandang kekejian manusia yang hanya memikirkan diri sendiri dari sudut kelembutan nurani bunga. Sebuah ekstrem atau sebuah kontras yang sengaja diangkat oleh Titik untuk membungkus tema lingkungan.

Cerita pendek dengan tokoh-tokoh ajaib, unik, dan magis, sangat merebut perhatian. Beban berat secara moral terhadap perusakan Bumi yang justru dilakukan oleh manusia yang membutuhkan Bumi, adalah bagian yang larut dalam kisah. Sekelebat pembaca hanya akan memetik cerita yang berkesan dan impresif. Tidak dengan helaan napas berat, melainkan dengan daya tarik yang membuat mata terus ”mengalir” menuju muara kisah. Ini memang hanya cerita pendek. Hanya dengan kepiawaian tersendiri, halaman yang pendek mampu menampung keutuhan fragmen.
Semoga tak hanya saya yang merasa nyaman dengan ketiga cerita pendek di atas. Suatu saat mungkin perlu dibaca oleh semua orang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Rima Gusti Prihatina. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online